Ini
bukan ihwal klenik semacam air dukun cilik Ponari. Bukan pula tentang
ayam bulu terbalik, cicak ekor cabang, bulus putih, atau serupanya, yang
sebagian orang meyakininya dapat membawa keberuntungan. Apalagi perihal
manusia mini bernama jenglot dan tuyul. Tentu saja bukan tentang semua
yang disebut itu, kendati pun ini ihwal keberuntungan (luck).
Ihwal keberuntungan (luck)
itu ada pada lukisan, tepatnya sebuah pameran lukisan bertajuk
“Symbolism of Luck” di lobi Hotel Four Season Jakarta 8 Juli-1 Agustus
2011. Pelukisnya bernama Dirot Kadirah, pria kelahiran Indramayu, Jawa
Barat. Ia pernah lebih kurang tujuh tahun mencecap pahit manis dinamika
perkembangan seni lukis di Pulau Dewata. Kini, ia memilih tinggal dan
berkarya di Jakarta.
Bagi
saya, Dirot adalah seorang kawan, karena saya dan dia sering terjebak
dalam situasi saling membutuhkan. Ia juga seorang saudara, karena saya
berasal dari daerah yang sama dengannya, dan dulu saya sering menumpang
makan-minum di rumahnya. Lebih dari itu, ia adalah seorang pelukis
besar, karena sejumlah teman menyebutnya demikian. Untuk sebutan
terakhir itu, saya tidak pernah mendengarnya langsung terucap dari
mulutnya. Kepada saya, Dirot hanya pernah menyebut dirinya sebagai
tukang gambar saja.
“Ikan.
Ikan itu simbol keberuntungan,” begitu kata Dirot suatu ketika, saat
saya tanyakan kenapa senang melukis objek ikan. Banyak benarnya. Bagi
masyarakat pesisir yang menggantungkan nasib pada laut yang penuh
misteri, ikan adalah nyawa mereka. Ada ikan, bisa makan. Tidak ada ikan,
rezeki tertahan. Sederhana saja logikanya. Namun Dirot yang dibesarkan
dalam lingkungan masyarakat pesisir merenungi dalam-dalam logika
sederhana itu. Alhasil, ikan-ikan yang ia hadirkan di hamparan kanvasnya
memunculkan aura semangat, harapan, dan keberuntungan (luck).
Sebagai
pelukis, cara Dirot memahami ikan terbilang luar biasa. Sebab itu,
meski sejumlah lukisannya meghadirkan objek yang sama (ikan) namun, saya
selalu menjumpai pemaknaan yang berbeda-beda pada setiap lukisannya.
Hal itu rupanya sebanding dengan upaya keras Dirot dalam memahami
objek-objek lukisannya. Meskipun di hadapan kanvas ia melukis dengan
ekspresif dan relatif cepat, tetapi sejatinya ia telah menggali ide itu
sekian lamanya. Ia tak segan pergi ke laut, naik perahu klotok bersama
nelayan tradisional untuk berburu ikan. Bukan sekadar cari inspirasi,
tapi sungguh-sungguh ingin menjadi bagian dari semangat perjuangan
mereka di tengah samudra. Kadang kala, ide itu ia bangun berdasarkan
mimpi yang ia renungkan berhari-hari. Begitulah Dirot.
Sore
itu, saya bertemu ia di lobi Hotel Four Season, di mana
lukisan-lukisannya sedang dipamerkan di sana. Sungguh menakjubkan, ikan
yang besar-besar itu seolah menari-nari di antara lalu lalang para tamu
hotel yang perlente. Mereka terus saja menari bersama para nelayan
bertubuh kekar, di antara warna-warni cerah penuh harapan. Mereka
menyanyikan lagu harapan, kidung doa menanti keberuntungan. Tiba-tiba
Dirot mengucap sebuah kalimat, “Biasanya tak terduga.” Iya,
keberuntungan seringkali datang tak terduga….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar